Pages

MakaroniPanggang

MakaroniPanggang

12.01.2010

Cerpen : Buah Kejujuran


Cesy masih terjaga. Ditemani jam weker dan segelas susu hangat yang baru diantar ibunya. Mulutnya komat-kamit menghafal rumus matematika. Kadang matanya terpejam, berharap rumus yang dihafal dapat melekat di otak. Namun rasa kantuk yang kuat, sering mnghapus hafalannya. Harus bisa! Tekadnya dalam hati. Cesy tak rela gelar juara pertamanya direbut oleh Dede untuk yang kedua kali. Apalagi ayahnya sudah berjanji akan membelikan sepeda baru kalau ia berhasil merebut kembali juara pertama.
“Luas kerucut adalah…, adalah… aahhh…! Lupa lagi!” Keluhnya kesal. Matanya kembali melihat buku catatannya. Memandangnya dengan alis bertaut, bibir terkatup. Menutupnya lagi, menghafal lagi dan… lupa lagi! Matanya hampir tertutup karena kantuk. Tapi Cesy belum menyerah. Ia paksa matanya tetap terjaga. Seteguk susu diharapkan mampu menahan kantuk yang sering menyerang tiba-tiba. Ia buka lembar yang lain. Matanya kembali memejam.
“Luas kubus adalah 6 X sisi X sisi. Luas tabung …, luas tabung …, tuh, kan. Lupa lagi!” Dengusnya sedikit keras. Tangan kanannya dengan malas membuka-buka lagi bukunya. Betapa terkejutnya saat Cesy sadar bahwa banyak sekali rumus yang belum dihafalnya. Sementara detik demi detik terus berlalu dan hampir menunjuk jam sebelas malam.
“Tak ada cara lain.” Desisnya hampir tak terdengar.
Tangannya segera menyobek kertas. Kemudian dengan cepat ia menyalin rumus-rumus yang belum dihafalnya. Dengan tulisan yang acak-acakan, akhirnya Cesy pun selesai. Segera ia menuju kasur empuknya. Kertas yang berisi rumus pun di bawanya. Hatinya gelisah. Bagaimana kalau besok Bu Guru tahu saat aku nyontek? Tanyanya dalam hati. Tapi kalau tidak nyontek, pasti aku tidak bisa. Tapi jika nyontek, berarti aku curang. Tapi jika tidak nyontek aku tidak jadi punya sepeda baru. Tapi…. tapi… Sebelum sempat melanjutkan kegelisahannya, Cesy tertidur.
“CESY.” Suara itu mengagetkan Cesy. Tangannya gemetar, tubuhnya berkeringat.
“Serahkan kertas itu!” Pinta Bu Guru tegas. Tangannya yang masih gemetar memberikan sesobek kertas yang berisi salinan rumus matematika.
“Karena menyontek, semua nilaimu akan dikurangi.” Kata Bu Guru sambil mengambil lembar jawabannya. Wajahnya menunduk. Lemas dan malu. Semua teman-temannya melihat ke arahnya.
“Huu… ternyata Cesy pintar karena nyontek! Pantes jadi juara.”
“Cesy, curang!”
“Cesy pembohong!”
“Juara nyontek!”
“Huu…!”. Suara teman-temannya mencibir, mengolok dan mencemooh. Cesy tidak tahan lagi. Ia pun berdiri.
“Aku tidak pernah menyontek! Tidak pernah!” Teriaknya keras-keras.
“Cesy, cesy. Ayo bangun. Sholat subuh dulu.” Suara Ibu terdengar. Pipinya ditepuk berkali-kali.
“Kamu kenapa? Mimpi buruk ya?” Cesy tergagap. Tubuhnya masih berkeringat. Mimpinya benar-benar seperti nyata.
“Ayo, Ayah sudah menunggu untuk sholat.”
“Iya, Bu.” Dengan perasaan yang masih takut Cesy pergi meninggalkan kamarnya. Setelah berwudhu, ia bergabung dengan ayah dan ibunya untuk sholat.
Setelah sholat, Cesy merenungi mimpinya. Ia pandangi kertasnya.
“Aku tidak boleh melakukannya.” Tekadnya dalam hati. Cesy pun melanjutkan belajarnya. Ia tetap berusaha menghafalkan rumus-rumus matematika. Ia tidak lagi berpikir untuk menyontek. Ia terus komat-kamit dengan mata terpejam. Sesekali matanya membuka untuk memastikan bahwa yang dihafalnya benar. Kemudian memejam lagi. Komat-kamit lagi. Sampai ibunya masuk dan mengingatkannya untuk segera mandi dan bersiap-siap sekolah.
“Ayo, Cesy. Nanti telat. Ayah sudah mandi, lho.”
Cesy bergegas mandi dan bersiap-siap. Dengan sedikit tergesa – gesa ia memakai seragamnya, memakai sepatunya, menyambar tasnya dan berlari menuju halaman di mana ayah telah siap menunggu. Tak lupa ia meremas-remas dan membuang contekannya ke tempat sampah di halaman. Setelah mencium tangan ibunya, ia masuk ke dalam mobil ayah.
“Bu, berangkat dulu. Assalamu’alaikum.” Teriaknya sambil berlalu.
Dua minggu berlalu. Hari ini adalah pembagian rapot. Ayahnya yang mengambil, sedang Cesy menunggu di rumah dengan persaan was-was. Ia murung. Sejak ayahnya berangkat sampai sekarang Cesy belum ingin makan. Ia yakin akan gagal merebut juara pertama lagi. Tapi Cesy pasrah. Toh memang Cesy memang sering sakit sehingga tidak masuk sekolah. Di lihatnya jam dinding dengan gelisah.Entah mengapa ia merasa jarum jam itu jadi lambat jalannya. Dengan malas, ia pun melanjutkan membaca buku ceritanya.
“Assalamu’alaikum,” Suara ayah terdengar dari depan bersama mobilnya.
“Wa’alikumsalam.” Cesy melonjak, menaruh buku ceritanya dan berlari ke halaman.
Ayah berjalan sambil membawa rapot di tangan kanan. Jantung Cesy semakin deg-degan. Ia remas-remas tangannya.
“Bagaimana, Ayah?” Tanya Cesy cemas.
Ayah diam. Cesy semakin yakin, kalau ayah marah. Ia pun menunduk, tak berani menatap wajah ayahnya.
“Sini, Cesy. Lihat rapotmu.” ajaak ayah yang telah duduk di teras. Cesy mendekat, dan duduk di sebelahnya. Matanya melihat halaman yang ditunjukkan ayah. Ia menelan ludah saat mengetahui bahwa ia hanya mendapat peringkat dua.
“Kamu kecewa?” Tanya ayah.
“Iya, Yah.”
“Kenapa?”
“Karena aku hanya mendapatkan peringkat kedua.”
“Tapi Ayah tidak kecewa. Ayah bangga.”
Cesy kaget. Ia tak mengerti kenapa Ayah bisa bangga padanya. Padahal ia gagal merebut juara pertama.
“Kamu ingin tahu kenapa Ayah bangga?” Cesy mengangguk.
“Karena anak Ayah jujur, itu yang membuat bangga.” Kening Cesy berkerut tak mengerti.
“Saat hari terakhir ujian, Cesy berniat menyontek, kan?” Cesy pun teringat dengan salinan rumus yang dibuatnya. Denga malu-malu Cesy mengangguk.
“Kertas contekan yang kamu buang ditemukan Ibu.”
“Ini, kan kertasnya?” Tiba-tiba Ibu datang dengan membawa kertas yang sudah lecek bekas diremas-remas. “Ibu menemukan di tempat sampah.” Lanjut Ibunya.
“Karena Cesy jujur, Ayah punya hadiah untuk Cesy.” Kata Ibu.
“Benar, Yah?” Tanya Cesy dengan mata berbinar gembira.
“Tentu saja. Ayo ikut Ayah.” Cesy mengikuti langkah Ayah menuju mobil.
Tangan Ayah membuka pintu tengah mobil.
“Wah, sepeda baru! Aku punya sepeda baru! Terimaksih, Ayah.”
“Ini hadiah kejujuran untuk Cesy.”
Cesy tidak jadi menyesal karena gagal menjadi juara pertama. Ia gembira karena kejujurannya membawa berkah. Ia berjanji tidak akan menyontek selamanya.

No comments:

Post a Comment