Pages

MakaroniPanggang

MakaroniPanggang

11.25.2010

RESENSI BUKU NEGERI 5 MENARA

Judul : Negeri 5 Menara
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Penulis : Ahmad Fuadi
Kategori : Novel Roman Dewasa
Tebal : xiii + 423 Hal
Resolusi : 13,5 cm x 20 cm
Negeri 5 Menara (N5M) adalah novel pertama karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2009 lalu. Bulan ini novel N5M telah dicetak 100.000 eksemplar, hanya dalam waktu 9 bulan. Ini adalah rekor baru untuk semua buku lokal yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama sepanjang 36 tahun ini. Bahkan beberapa bulan lagi, N5M juga akan terbit di Malaysia dalam edisi Melayu. Novel ini sendiri bercerita tentang kehidupan 6 santri dari 6 daerah berbeda yang menuntut ilmu di Pondok Madani (PM) Ponorogo, Jawa Timur yang jauh dari rumah dan berhasil mewujudkan mimpi menggapai jendela dunia. Mereka adalah : Alif Fikri Chaniago dari Maninjau, Raja Lubis dari Medan, Said Jufri dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso Salahuddin dari Gowa.
Mereka sekolah, belajar dan berasrama dari kelas 1 sampai kelas 6. Kian hari mereka semakin akrab dan memiliki kegemaran yang sama yaitu duduk di bawah menara masjid PM. Dari kegemaran yang sama tersebut mereka menyebut diri mereka sebagai Sahibul Menara. Mengisahkan pengalaman seorang pemuda (Alif) yang meninggalkan kampungnya yang udik di Bukittinggi, lalu menuntut ilmu di sebuah pesantren di Jawa Timur, kemudian terbang ke negeri-negeri bersalju yang dingin. Novel ini begitu memikat hati, bahkan sejak halaman pertamanya dibuka. Dalam petualangannya itu, Alif bertemu dengan kawan-kawan barunya yang menyenangkan. Persahabatan mereka bertaut kokoh, seperti menara-menara yang berdiri di 5 negeri. Terinspirasi oleh kisah nyata penulisnya, A. Fuadi, N5M seolah-olah menjadi sangat nyata bagi para pembacanya. Kita pun seakan menyelam ke jantung samudera kehidupan ketika membaca novel ini.
Alif lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain bola di sawah berlumpur dan tentu mandi berkecipak di air biru Danau Maninjau. Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia mengikuti perintah Ibunya: belajar di pondok. Di kelas hari pertamanya di PM, Alif terkesima dengan mantera sakti man jadda wa jada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses. Bahkan dia terheran-heran mendengar komentator sepakbola berbahasa Arab, anak mengigau dalam bahasa Inggris, merinding mendengar ribuan orang melagukan Syair Abu Nawas dan terkesan melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara.
Dengan deskripsi ruang yang nyaris sempurna, A. Fuadi berhasil memetakan seluk-beluk dunia pesantren modern yang selama ini hanya menjadi cerita dari mulut ke mulut. Pahit dan getir, riang dan gamang kaum santri dengan humor khas pesantren ditandaskan dengan modus pengisahan yang menakjubkan. Tengoklah pelbagai alasan yang sengaja dirancang sahibul-menara agar mereka beroleh izin keluar PM, bersepeda mengelilingi Kota Ponorogo, dan tak lupa melintas di pintu gerbang pesantren putri, sekadar ''nampang''.

Begitu pula siasat Dulmajid yang memengaruhi ustad Torik agar beroleh izin nonton bareng per tandingan final bulu tangkis di lingkungan PM, padahal qanun (aturan pondok) menegaskan, santri PM dilarang menonton TV. ''Ustad, lob antum itu mirip sekali dengan punya Icuk dan smes antum mirip Liem Swie King. Kalau nggak percaya, kita tonton siaran langsung besok malam.''

Ustad Torik langsung takluk dan terjadilah peristiwa bersejarah itu: TV masuk PM. Lewat satirisme khas kaum santri itulah, segi-segi estetik novel tersebut dapat ditandai hingga martabat kenovelannya tidak semata-mata ditakar dengan nilai didaktik dan etik saja. Bukankah jalan sastra adalah ikhtiar merancang sebuah alegori dari pelbagai realitas faktual yang menjadi panggilan penciptaan pengarangnya? Maka, kerja pemaknaan terhadap teks novel tak segampang sebagaimana yang dilakukan para komentator novel tersebut. Bahwa kemudian ditemukan tendensi-tendensi didaktik, itu kenyataan yang tak bisa dielakkan karena setiap pembaca berhak menafsirkannya sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Bukan hasil akhir para tokohnya yang membuat N5M ini menarik dibaca dan menjadi santapan nikmat penyejuk jiwa. Proses, perjuangan, dan ikhtiar mewujudkan impian yang terasa mustahil saat dibayangkan menjadi motivasi bagi siapa pun yang membacanya. Apalagi, selain mantra man jadda waj ada di atas, pembaca juga disuguhi kutipan-kutipan penuh motivasi di setiap babnya.
Di bawah menara masjid yang menjulang, keenam Sahibul Menara ini kerap menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Kemana impian jiwa muda ini akan membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah: Jangan pernah remehkan impian walau setinggi apa pun itu. Sesungguhnya Tuhan Maha Mendengar.
Tak dimungkiri bahwa di balik kisah yang digarap A. Fuadi dalam buku ini, ada pengalaman empiris, katakanlah semacam fakta-fakta keras semasa pengarang mondok di Gontor yang menjadi muasal pengisahannya. Tapi, dalam kerja kepengarangan, fakta-fakta keras itu digiling sehalus-halusnya oleh imajinasi sehingga tidak bisa lagi dilihat dengan kacamata hitam-putih, tidak bisa diukur secara positivistik. ''Imajinasi'' di sini bukan dalam pemahaman yang menyehari. Filsuf Arab Al-Farabi (850-950) dalam kitabnya, Ara' Ahl Madinah Wa Al-Fadhilah, menyebutnya quwwatul muttakhilah, semacam potensi dalam subjek, yang berpijak pada pengalaman empiris dan penalaran (reasoning), sehingga ia sangat berbeda dengan ''fantasi'' -yang tidak perlu berangkat dari pengalaman indrawi, apalagi penalaran. Dalam epistemologi Al-Farabi, ''imajinasi'' dalam batas-batas tertentu bahkan dapat melampaui pencapaian akal-bu di dan pengalaman empiris itu sendiri.

Maka, dunia imajiner dalam Negeri 5 Menara bukan lagi semata-mata dunia A. Fuadi dan sejawat-sejawatnya semasa di Gontor. Kisah yang disudahi pengarang dengan reuni bersejarah di Trafalgar Square, London, -setelah 15 tahun masa-masa sulit di PM berlalu- telah terdedahkan sebagai ruang fiksional dengan segenap kemungkinan tak terduga yang menyertainya. Bukankah Alif (Washington DC), Atang (Kairo), dan Raja (London) yang bertemu pada sebuah konferensi di London tidak pernah terbayangkan sebelumnya? Mereka tak pernah menyangka para sahibul-menara bakal menggenggam impian masing-masing. Yang mereka tahu hanya man jadda wajada, siapa bersungguh-sungguh, bakal sukses. (*)

No comments:

Post a Comment